Meneladani Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
Siapa yang tidak tahu beliau, sang revolusioner dunia, ialah Nabi Muhammad SAW. Periode kepemimpinan beliau mencapai kurang lebih 23 tahun. Beliau memimpin 13 tahun pertama di Mekah, tempat lahirnya. Lalu, selama 10 tahun singgah di kota Madinah. Waktu yang tidak sebentar untuk ukuran pemimpin.
Cara memimpin ala Nabi
Muhammad SAW ini terbilang efektif karena sudah berhasil mengubah masyarakat
dunia, meski hanya Mekah dan Madinah yang pernah beliau singgahi. Faktanya,
kita di Indonesia bisa merasakan kehadiran Islam, meski beliau tidak pernah ke
Indonesia. Inilah bukti kesuksesannya.
Pemimpin memang tidak
wajib blusukan biar masyarakat yang dikunjunginya sejahtera. Tetapi, dengan fokus
kepada orang terdekatnya, daerah sekitarnya, itu juga bisa memperbaiki
masyarakat dunia. Ini seperti dalam film “Jai Ho” yang diperankan Salman Khan
(Jai Agnihotri), dengan ideologi “Jangan berterima kasih, lebih baik bantu 3
orang lagi dan minta mereka untuk membantu 3 orang lagi”
Adapun Nabi Muhammad SAW
memimpin dengan hikmah, maizah hasanah, dan berdebat dengan sopan. Agar lebih
jelas, akan saya coba uraikan berikut.
Hikmah
Ini memiliki makna yang
cukup luas. Biasanya orang menyebut hikmah adalah bijaksana. Jika hendak diterjemahkan
dengan makna yang praktis, hikmah berarti bijaksana, yakni selalu menggunakan
akal budinya yang meliputi pengetahuan dan pengalaman. Orang yang bijaksana
pasti tajam pikiran.
Tidak berhenti pada makna
tersebut, hikmah alias bijaksana bisa juga bermakna pandai dan berhati-hati.
Saat cobaan atau kesulitan menghampiri, orang yang hikmah tentu akan cermat dan
teliti dalam mencari solusi. Tidak terburu-buru mengambil keputusan. Tenang
dalam mengadapi masalah.
Nabi Muhammad SAW ketika
menghadapi para musuhnya pun dengan hikmah. Berulang kali dakwahnya mendapatkan
respon negatif dari masyarakat yang bahkan telah mengenalnya lama. Seperti yang
kita ketahui, beliau pernah diludahi, dicaci maki, hingga dilempari kotoran dan
batu. Tetapi beliau tidak marah, justru malah mendoakan kebaikan untuk
orang-orang itu.
Pemimpin saat ini perlu
belajar seperti itu. Ketika diamuk netizen, sikap pemimpin harus hikmah. Jangan
sampai tersulut emosi lalu menghakimi netizen. Ketika hendak mengambil keputusan,
karena itu untuk rakyat, pemimpin kudu cermat dan teliti, membuka tajam pikirannya
untuk mencari solusi dari masalah yang terjadi.
Mauizah Hasanah
Istilah ini dalam Islam
dikenal dengan makna pelajaran yang baik. Secara ringkas dapat disebut sebagai nasihat.
Ini meliputi banyak segi, bisa berupa petunjuk, bisa juga berbentuk peringatan,
atau teguran kebaikan. Di dalamnya terkandung pesan moral, yang bisa dijadikan
bahan pelajaran.
Kalau sudah jadi tokoh,
pemimpin, apalagi tinggi jabatannya, acap kali pidato sampai berlembar-lembar. Tentu,
audiens malas mendengar semua narasi begitu. Harusnya seperlunya. Sehingga
pidato yang dibacakan penuh nasihat kebaikan. Dan asyik.
Coba kita ingat, kapan
Nabi Muhammad SAW berpidato dengan durasi lama? Benar, beliau selalu berbicara
seperlunya, secukupnya. Bahkan dalam salah satu hadis, beliau berpesan “Jika
tidak bisa berkata baik, lebih baik diam”
Menjadi pemimpin harus
bisa memberi petunjuk yang baik. Sebab, setiap gerak-geriknya selalu diamati
masyarakat. Berani memberikan peringatan atau teguran kebaikan. Sebab, pemimpin
juga harus memberikan pesan moral kepada masyarakat. Sehingga masyarakat merasa
dekat dengan pemimpin. Salah satunya dengan menjaga bicaranya.
Berdebat dengan sopan
Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda, "Jangan marah". Beliau memang masyhur dengan sifat lemah
lembutnya. Baik kepada semua orang tanpa terkecuali. Sebab itu Nabi Muhammad
SAW tidak pernah berdebat akan hal-hal yang sia-sia apalagi sampai muncul emosi
marah. Nabi Muhammad SAW selalu berhasil menyelesaikan urusan dengan baik.
Adapun berdebat dengan sopan
yang dimaksud adalah berdiskusi. Dalam dunia akademik, diskusi biasa dimaknai
sebagai sebuah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran membahas masalah-masalah
yang sedang dihadapi. Kasus pencurian, misalnya. Tidak main hakim sendiri, atau
biasanya ada penyelesaian yang disebut “jalan kekeluargaan”.
Nabi Muhammad SAW berdialog
dan menyelesaikan masalah masyarakat setempat tanpa melukai perasaan yang lain.
Dengan kecakapan beliau dalam berdialog, akhirnya terjadi persahabatan kaum Muhajirin
dan Anshar pada waktu itu.
Pemimpin ketika menjumpai kritik dan saran dari masyarakat
harus ditanggapi dengan sopan. Berdialog dengan sopan, duduk bersama. Sehingga
seolah tidak ada sekat di antara keduanya. Karena semua membangun negeri, bukan
hanya pemimpin. Pemimpin tidak akan sukses jika dalam sosial kemasyarakatannya
gagal.
0 Komentar